Mendidik
Dendam Semua konflik di dunia ini terjadi, karena orang mengira, bahwa
kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Mereka mengira, bahwa ini adalah
jalan keluar satu-satunya. Jika kekerasan tak dibalas dengan kekerasan, ada
perasaan tidak puas di dalam diri. Bahkan, pola semacam ini sudah menjadi
begitu otomatis, sehingga orang tidak lagi menyadarinya. Bom harus dibalas
dengan bom. Pukulan harus dibalas dengan pukulan. Mata ganti mata. Gigi ganti
gigi. Nyawa ganti nyawa. Padahal, jika melihat sejarah, kita akan menemukan,
bahwa kekerasan tidak pernah menjadi jalan keluar. Kekerasan hanya melahirkan
kekerasan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Buahnya adalah
penderitaan dan kemarahan yang semakin dalam. Dendam Di balik pola ini, ada
satu hal yang sama, yakni dendam. Dendam adalah perasaan tidak terima, karena
orang merasa diperlakukan tidak adil. Dendam menjadi dasar untuk melakukan
tindakan balasan, yakni kekerasan. Disini berlaku hukum yang sama, kekerasan
akan terus melahirkan kekerasan dan penderitaan, sampai kekerasan itu diputus.
Jelas, bahwa kita harus mencari jalan lain. Kita perlu menyadari, bahwa dendam
tidak pernah menghasilkan apapun yang baik. Pepatah Buddhis berikut kiranya
benar, bahwa orang yang menyimpan dendam itu seperti orang yang membawa bara
api di tangannya, dan mau melemparkan itu ke orang lain. Orang yang menyimpan
dendam itu terluka terlebih dahulu, bahkan sebelum ia menyakiti orang lain.
Oleh karena itu, kita harus mendidik rasa dendam yang ada di dalam diri kita.
Kita perlu memahami bara api yang kita pegang di tangan kita sendiri ini.
Tujuannya, supaya kita bisa memutus rantai
kekerasan dan penderitaan yang terjadi. Hanya dengan begitu, perdamaian menjadi
mungkin. Bagaimana cara mendidik dendam? Kita harus memahami akar dendam itu
sendiri. Dengan pemahaman ini, kita akan sadar, apa arti dendam itu
sesungguhnya. Pemahaman ini juga membantu kita memutus rantai kekerasan yang
adalah buah dari rasa dendam. Akar Dendam Dendam memiliki dua kaki, yakni
amarah dan rasa takut. Amarah muncul, karena keinginan kita tidak sejalan
dengan kenyataan yang terjadi. Rasa takut muncul, karena ketidakpastian dari
kehidupan itu sendiri. Ketika dua hal ini bertemu, dendam lalu muncul sebagai reaksi
atas hal-hal yang tak diinginkan. Padahal, jika diamati dengan jeli, amarah dan
takut itu sejatinya kosong. Keduanya tidak memiliki inti pada dirinya sendiri.
Keduanya lahir dari kesalahan berpikir. Jika kesalahan berpikir itu diperbaiki,
maka keduanya akan lenyap secara alami. Kesalahan berpikir macam apa yang
terjadi disini? Yang pertama adalah, bahwa kenyataan harus selalu sesuai dengan
keinginan kita. Ini jelas tidak akan pernah mungkin terjadi.
Di dalam filsafat
Jerman, ini disebut tegangan antara apa yang ada (das Sein) dan apa yang
seharusnya terjadi (das Sollen) yang menghasilkan ”rasa sakit dunia”
(Weltschmerz). Tegangan ini menghasilkan banyak emosi jelek di dalam diri
manusia; salah satunya adalah amarah. Ketika kita melepaskan keinginan kita,
kita lalu bisa menerima kenyataan apa adanya. Kita tidak lagi memaksakan,
supaya dunia berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kita melepaskan mimpi dan
harapan-harapan kosong kita akan kehidupan. Di titik ini, kita menemukan
kedamaian yang sesungguhnya. Yang kedua adalah soal ketidakpastian hidup yang
membuat kita merasa takut. Jika dipikirkan lebih dalam, hidup itu sendiri
adalah ketidakpastian. Setiap saat, segala hal bisa terjadi pada kita. Di detik
berikutnya, kita bisa mati tersengat listrik, atau mendapat hadiah undian
jutaan rupiah. Siapa yang tahu? Ketika kita bisa menerima ketidak pastian ini
sebagai bagian dari hidup kita, maka rasa takut pun akan hilang dengan sendirinya.
Kekosongan dari Dendam Dendam lahir dari amarah dan takut. Namun, amarah dan
takut itu sejatinya kosong. Maka, dendam juga sejatinya kosong. Ia tidak
memiliki inti pada dirinya sendiri. Di dalam tradisi Timur, kenyataan dipahami
sebagai kekosongan. Nagar juna, fi lsuf India, bahkan menegaskan, bahwa
kekosongan (Sunyata) adalah dasar dari segala-galanya. Dari kekosongan, segala
sesuatu datang dan pergi. Kekosongan adalah kemungkinan yang tak terhingga. Di
dalam fi lsafat Zen, segala hal itu terjadi, karena adalah hal-hal yang
memungkinkannya (dependent origination). Air menjadi panas, karena ada api yang
membakarnya. Api menjadi ada, karena ada gesekan yang kuat antara dua benda
keras.
Dua benda
keras bisa bergesekan, karena ada energi yang menggerakannya, dan begitu
seterusnya. Tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Segalanya adalah bagian
dari segalanya. Keterkaitan antara segala sesuatu ini adalah kehidupan itu
sendiri. Tidak ada satu hal pun yang memiliki inti universal dan mampu berdiri
sendiri, lepas dari jaringan kehidupan. Di dalam buku Wissenschaft der Logik,
Hegel, fi lsuf Jerman, menyebut ini sebagai hukum keniscayaan. Keniscayaan
menjadi mungkin, karena potensi berjumpa dengan kondisi. Orang pasti menjadi
presiden, ketika bakatnya sebagai pemimpin digabungkan dengan dukungan dari
banyak orang. Ketika potensi atau kondisi tidak ada, maka tidak ada pula
keniscayaan. Dendam pun memiliki pola serupa. Ia bukanlah sesuatu yang mutlak.
Ia lahir dari hal-hal yang memungkinkannya. Ketika hal-hal tersebut berubah,
dan itu pasti berubah, maka dendam pun juga lenyap dengan sendirinya.
Ego Ketika
dendam, amarah dan takut muncul di dada, kita juga perlu bertanya, siapa ini
yang merasakan emosi-emosi tersebut? Siapa yang mengalami gejolak
perasaan-perasaan tersebut? Jawabannya dengan mudah diberikan: saya. Namun,
siapa, atau apa, itu ”saya”? Apakah ada yang disebut ”saya”? Jika diteliti
lebih jauh, kita akan juga sampai pada kesimpulan, bahwa ”saya” adalah kosong.
Ia datang dan pergi, tergantung pada kondisi-kondisi yang memungkinkannya.
Ketika anda sedang asyik menonton fi lm, ”saya” seolah lenyap. Anda menyatu
dengan fi lm yang anda tonton. Sama halnya, ketika anda mendengar musik yang
indah. ”Saya” seolah mundur ke belakang, dan tak lagi tampak. Namun, ketika
anda merasa marah, ”saya” muncul lagi ke depan. Biasanya, anda marah, karena
kehendak anda tidak terpenuhi. Ambisi anda tidak sesuai de ngan kenyataan yang
terjadi. Di titik ini, si ”saya” menjadi begitu kokoh dan agresif. Jadi, ”saya”
sebenarnya juga kosong. Ia tak memiliki inti. Ia tergantung dari keadaan yang
menghasilkannya. Ia juga adalah hasil dari perkawinan antara potensi dan
kondisi, sebagaimana dikatakan oleh Hegel.
Thomas Meĵ
inger, ilmuwan neurosains Jerman, juga menegaskan ini melalui
penelitian-penelitiannya. Di dalam buku Der Ego-Tunnel, melihat, bahwa ”saya”,
atau diri, adalah gambaran semata. Gambaran ini datang dan pergi, serta terus
berubah. Sejatinya, ia tidak ada. Jika ”saya” adalah kosong, maka semua
perasaan dan pikiran yang dihasilkannya juga kosong. Semuanya tak memiliki
inti. Dendam, amarah dan takut juga tak memiliki akar yang kuat pada kenyataan.
Semuanya bagaikan awan yang terus bergerak di langit biru yang luas membentang
di belakangnya. Orang terjebak pada dendam, amarah dan takut, ketika ia tidak
menyadari ini. Orang tenggelam pada penderitaan, karena kesalahan berpikirnya.
Ke salahan berpikir ini adalah mengira sesuatu yang tak ada sebagai ada. Ketika
kesalahan ini dilepas, amarah, dendam dan takut juga lenyap secara alami.
Kebijaksanaan Kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu adalah sumber utama
dari kebijaksanaan yang sejati, begitu kata Nagarjuna. Dari kesadaran ini, kita
bisa memiliki kebebasan yang sesungguhnya. Kita bisa melepas semua emosi jelek
kita, dan mencapai kedamaian batin yang sejati. Kita lalu bisa hidup dengan
kejernihan, dan membantu orang lain di sekitar kita. Namun, pengetahuan belaka
juga tidak banyak membantu. Kita mem butuh kan pengalaman langsung akan
kekosongan itu sendiri. Disini letak penting nya meditasi, yakni tindak
mengamati segala sesuatu yang terjadi di dalam maupun di luar diri kita, tanpa
memberi penilaian ataupun analisis apa pun. Jika kita bisa mengamati dengan
pola semacam ini setiap saat, kita akan menemukan kejernihan batin dan pikiran.
Kejernihan ini juga harus dikelola setiap saat. Kita harus memberikan arah pada
pikiran kita, supaya ia tidak bergerak tak teratur. Arah ini dapat diberikan
dengan menarik pikiran kita pada keadaan saat ini dan disini, yakni pada apa
yang kita sedang lakukan.
Cara lain
adalah dengan mengajukan pertanyaan mendasar: apa ini yang sedang melakukan
tindakan ini? Di dalam tradisi Seon Buddhisme Korea, pertanyaan ini disebut
juga sebagai Hwadu, yakni kata yang hidup. Hwadu tidak untuk dijawab dengan
teori, tetapi untuk dialami secara terus-menerus. Secara ilmiah bisa
dijelaskan, bahwa Hwadu berfungsi memberikan arah pada pikiran kita, sehingga
ia tetap fokus dan jernih dari saat ke saat. Jika pikiran kita jernih, kita
bisa memahami keadaan sebagaimana adanya di depan mata kita. Kita tidak lagi
dikaburkan oleh emosi-emosi tak teratur di dalam diri kita. Kita bisa bertindak
dengan bijak, sesuai dengan keadaan yang ada. Inilah kebijaksanaan hidup yang
tertinggi. Perdamaian Mendidik dendam berarti menyadari dan mengalami langsung,
bahwa den dam itu kosong. Sejatinya, ia tidak ada. Kesalahan berpikirlah yang
melahir kannya. Ketika kesalahan berpikir ini diperbaiki, dendam juga otomatis
hilang. Ketika dendam lenyap, maka rantai kekerasan akan terputus. Perdamaian
yang sesungguhnya pun menjadi mungkin. Berbagai perbedaan yang ada diselesaikan
dengan jalan dialog yang sehat. Dendam, amarah dan takut tetap ada, karena itu
adalah bagian dari perubahan kenyataan dan diri manusia. Namun, mereka tidak
lagi menganggu. Mereka datang dan pergi, seperti kabut di pagi hari. Mereka
tidak lagi menjadi penjajah yang memaksa kita untuk menuruti keinginan mereka.
Bahkan, pada tingkat tertentu, mereka adalah kawan kita untuk berjalan bersama
menuju kebijaksanaan. Mari kita mendidik dendam yang mungkin bercokol di dalam
diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar